Jakarta, VIVA – Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping terlihat begitu akrab saat menghadiri resepsi Hari Kemenangan di Moskow pada 9 Mei lalu. Di depan publik, Putin menyebut hubungan Rusia dan China sedang berada di masa keemasan—sebuah kemitraan strategis militer dan ekonomi yang diklaim tak tergoyahkan.
Baca Juga :
AS Bantah Terlibat Serangan Israel ke Iran: Jangan Libatkan Kami dalam Konflik
Namun, di balik tembok markas besar badan intelijen dalam negeri Rusia (FSB) di Lubyanka, suasananya sangat berbeda. Dalam satu unit intelijen rahasia yang selama ini tidak pernah terungkap ke publik, para agen FSB secara terang-terangan menyebut China sebagai “musuh”.
Seperti dilansir Strait Times, Sabtu 14 Juni 2025, unit ini memperingatkan bahwa China merupakan ancaman serius bagi keamanan Rusia. Mereka mengungkapkan bahwa Beijing semakin aktif merekrut mata-mata Rusia dan mencoba mengakses teknologi militer sensitif, termasuk dengan memikat ilmuwan Rusia yang kecewa dengan negaranya.
Baca Juga :
Takut Eskalasi dengan Iran, AS Minta Diplomat di Israel Cari Tempat Aman
Mereka juga meyakini bahwa China tengah memata-matai operasi militer Rusia di Ukraina untuk mempelajari senjata dan taktik militer Barat. Bahkan, ada kekhawatiran bahwa akademisi China sedang merancang skenario untuk mengklaim wilayah Rusia di masa depan.
Tak hanya itu, agen-agen intelijen China juga dituduh melakukan mata-mata di wilayah Arktik dengan menyamar melalui perusahaan tambang dan lembaga riset universitas.
Baca Juga :
Presiden Prabowo Terima Telepon dari Trump, Bahas Apa?
Semua kekhawatiran ini tertuang dalam sebuah dokumen internal FSB setebal delapan halaman yang diperoleh oleh The New York Times. Dokumen tersebut memuat prioritas utama FSB dalam menghadapi ancaman spionase dari China.
VIVA Militer: Ilustrasi agen spionase
Ketegangan Tersembunyi di Balik Persahabatan Deklaratif
Meski dokumennya tidak mencantumkan tanggal, isi dan konteksnya menunjukkan kemungkinan besar ditulis pada akhir 2023 atau awal 2024. Dokumen ini dibocorkan oleh kelompok peretas Ares Leaks, meskipun mereka tidak menjelaskan bagaimana cara memperolehnya.
The New York Times kemudian membagikan dokumen ini kepada enam lembaga intelijen Barat, dan semuanya menilai dokumen ini asli.
Inilah pandangan paling lengkap sejauh ini tentang bagaimana FSB—badan kontra-intelijen Rusia—memandang China secara diam-diam.
Sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022, hubungan antara Moskow dan Beijing semakin erat dan menjadi salah satu poros geopolitik paling penting dan tertutup di dunia.
Meskipun terkena sanksi ekonomi berat dari Barat, Rusia mampu bertahan—sebuah kenyataan yang membungkam prediksi banyak pakar dan politisi Barat yang mengira ekonomi Rusia akan runtuh. Dan salah satu faktor utama di balik ketahanan Rusia adalah China.
China kini menjadi pembeli minyak terbesar Rusia, serta penyedia utama chip komputer, perangkat lunak, dan komponen militer. Ketika perusahaan Barat mundur dari Rusia, berbagai merek China langsung masuk menggantikannya.
Kedua negara juga mengumumkan rencana ambisius untuk kerja sama di berbagai bidang—dari produksi film hingga pembangunan pangkalan di bulan.
Putin dan Xi terus menggembar-gemborkan bahwa hubungan mereka adalah “kemitraan tanpa batas”. Namun, memo rahasia FSB membuktikan bahwa batas-batas itu tetap ada.
“Di tingkat politik, semua pemimpin ingin mempererat hubungan dengan China,” ujar Andrei Soldatov, pakar intelijen Rusia yang kini tinggal di pengasingan di Inggris dan turut meninjau dokumen ini atas permintaan The New York Times. “Tapi di tingkat intelijen dan keamanan, mereka sangat curiga.”
Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menolak berkomentar. Kementerian Luar Negeri China juga tidak merespons permintaan tanggapan terkait dokumen ini.
Operasi Rahasia «Entente-4» untuk Menghadang China
Menurut dokumen tersebut, tiga hari sebelum invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, FSB meluncurkan program kontra-intelijen baru bernama «Entente-4». Nama sandi itu seolah mengacu secara sarkastik pada ‘persahabatan’ antara Moskow dan Beijing.
Tujuan sebenarnya? Mencegah upaya spionase China yang berpotensi merusak kepentingan Rusia.
Saat itu, hampir seluruh sumber daya militer dan intelijen Rusia dialihkan ke Ukraina—lebih dari 6.500 km dari perbatasan China. Rusia khawatir China akan memanfaatkan situasi itu.
Kekhawatiran tersebut ternyata terbukti. Dalam dokumen itu dijelaskan bahwa intelijen China meningkatkan upaya perekrutan pejabat, pakar, jurnalis, dan pengusaha Rusia yang dekat dengan kekuasaan.
Sebagai respons, FSB memerintahkan seluruh agennya untuk mencegah kebocoran informasi strategis kepada China. Para agen juga ditugaskan untuk melakukan pertemuan langsung dengan warga Rusia yang sering berinteraksi dengan China, dan memperingatkan mereka bahwa Beijing tengah memanfaatkan situasi demi mencuri riset ilmiah Rusia.
Selain itu, FSB juga menginstruksikan agar dikumpulkan terus-menerus data pengguna aplikasi perpesanan China, WeChat. Upaya ini termasuk meretas ponsel target dan menganalisis data dengan perangkat lunak khusus milik unit FSB.
Keraguan dan Ketegangan yang Menguntungkan Amerika?
Kemitraan dua negara otoriter dengan populasi gabungan hampir 1,6 miliar jiwa dan persenjataan nuklir sekitar 6.000 hulu ledak ini menimbulkan kekhawatiran besar di Washington.
Bendera AS, Rusia, dan China.
Beberapa pejabat di pemerintahan Trump meyakini bahwa jika Amerika Serikat dapat merangkul Putin, maka Rusia bisa dijauhkan dari pengaruh China. Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menyebut potensi kerja sama Rusia-China sebagai “dua kekuatan nuklir yang bersekutu melawan Amerika Serikat”.
“Saya harus memisahkan mereka, dan saya pikir saya bisa,” kata Donald Trump menjelang kemenangannya dalam pemilu November lalu. “Saya harus memisahkan mereka.”
Di satu sisi, dokumen FSB ini mendukung teori bahwa Rusia masih bisa ‘ditarik’ menjauh dari China, mengingat adanya rasa tidak percaya yang cukup kuat di kalangan badan intelijen Rusia terhadap Beijing.
Dokumen itu menyebut China melakukan tes kebohongan (polygraph) terhadap agen-agen mereka setibanya kembali ke tanah air, memperketat pengawasan terhadap 20.000 pelajar Rusia di China, dan bahkan mencoba merekrut warga Rusia yang memiliki pasangan dari China.
Namun di sisi lain, bisa jadi dokumen ini justru menunjukkan sebaliknya. Meski Putin tampaknya sadar akan risiko menjalin hubungan dekat dengan China, ia tetap memilih melanjutkan kerja sama tersebut.
“Putin merasa bahwa masuk lebih dalam ke pelukan China memang berisiko, tapi tetap sepadan,” kata Alexander Gabuev, Direktur Carnegie Russia Eurasia Centre, yang juga turut mereview dokumen tersebut.
“Tapi kita juga melihat bahwa ada pihak-pihak dalam sistem Rusia yang skeptis terhadap pendekatan ini.”
Putin Bangun Hubungan Erat dengan Xi, Tapi Intelijen Rusia Waspadai Niat China
Presiden Vladimir Putin telah merayu Presiden Xi Jinping selama bertahun-tahun, bertemu langsung lebih dari 40 kali, dan sejak invasi ke Ukraina, hubungan Rusia–China menjadi semakin erat.
Secara ekonomi, keduanya saling melengkapi. Rusia adalah salah satu produsen energi terbesar dunia, sementara China merupakan konsumen energi terbesar di dunia. Hubungan ini sangat menguntungkan, tapi juga menghadirkan tantangan rumit bagi aparat kontra-intelijen Rusia.
Dalam sebuah dokumen rahasia, terungkap bahwa petugas intelijen Rusia diingatkan untuk berhati-hati dalam menyikapi ancaman dari intelijen China tanpa sampai merusak hubungan diplomatik kedua negara. Mereka bahkan diperintahkan untuk tidak menyebut secara terbuka bahwa dinas intelijen China bisa menjadi musuh potensial.
Arahan ini kemungkinan besar ditujukan untuk kantor-kantor FSB di lapangan, dan memberikan gambaran langka tentang bagian dalam dunia Departemen Operasi Kontra-Intelijen FSB yang dikenal sangat berpengaruh. Dokumen ini dibuat oleh Divisi ke-7 FSB, yang khusus menangani ancaman spionase dari China dan negara-negara Asia lainnya.
Kekhawatiran Terhadap Dominasi China
Bendera China (Ilustrasi)
Kekhawatiran bahwa Rusia akan menjadi terlalu bergantung pada China sangat terasa dalam dokumen ini. Meski begitu, belum jelas seberapa luas kekhawatiran ini dirasakan di seluruh struktur pemerintahan Rusia, mengingat bahwa bahkan negara-negara sekutu pun kerap saling memata-matai.
Seperti yang dikatakan Paul Kolbe, mantan pejabat CIA yang kini menjadi peneliti senior di Belfer Center Universitas Harvard, “Dalam dunia intelijen, tidak ada yang namanya benar-benar bersahabat.” Ia menambahkan, “Kalau Anda tanya siapa pun dari militer atau intelijen Rusia, pasti ada kecurigaan mendalam terhadap China. Meski mereka sekarang penting dan berguna, di masa depan China tetap bisa menjadi ancaman.”
China Ingin Menguak Rahasia Perang dan Ilmuwan Rusia
Tidak lama setelah Rusia menyerbu Ukraina, para pejabat dari perusahaan pertahanan dan lembaga riset China yang memiliki kaitan dengan intelijen mulai berdatangan ke Rusia. Tujuan mereka, menurut dokumen FSB, adalah untuk memahami lebih dalam dinamika perang yang sedang berlangsung.
China punya ilmuwan kelas dunia, tapi militernya belum pernah berperang sejak konflik singkat melawan Vietnam tahun 1979. Ini menimbulkan kekhawatiran di internal China tentang kemampuan tempur mereka, khususnya jika harus melawan senjata-senjata modern milik Barat dalam skenario perang di Taiwan atau Laut China Selatan.
Pejabat intelijen China sangat ingin mempelajari pengalaman Rusia dalam melawan pasukan yang didukung Barat. Dokumen FSB menyebut, “Yang paling menarik perhatian Beijing adalah metode pertempuran menggunakan drone, pembaruan perangkat lunaknya, serta cara mengatasi senjata-senjata Barat generasi baru.” Mereka percaya perang di Ukraina akan berlangsung lama, dan ingin belajar sebanyak mungkin darinya.
Perang ini memang telah mengubah taktik dan teknologi militer secara drastis.
China selama ini tertinggal dalam teknologi penerbangan dibanding Rusia, sehingga bidang ini menjadi prioritas utama bagi Beijing. Mereka mulai menargetkan pilot militer dan peneliti Rusia yang ahli dalam bidang aerohidrodinamika, sistem kontrol, dan aeroelastisitas.
Bahkan, menurut dokumen itu, China juga memburu ilmuwan Rusia yang pernah mengerjakan proyek ekranoplan, yakni kapal militer mirip hovercraft yang sempat dikembangkan oleh Uni Soviet.
“Yang diprioritaskan adalah mantan pegawai pabrik pesawat dan lembaga riset, termasuk mereka yang masih aktif namun kecewa karena program pengembangan ekranoplan dihentikan oleh Kementerian Pertahanan Rusia atau sedang mengalami kesulitan finansial,” tulis laporan tersebut.
Namun, dokumen itu tidak menjelaskan apakah upaya perekrutan ini hanya untuk bekerja dalam proyek-proyek China, atau juga mencakup perekrutan sebagai mata-mata.
Rusia Mulai “Menyusupi Balik” China
Tak hanya khawatir, Rusia juga tampaknya mulai bergerak. Dokumen ini menunjukkan bahwa Rusia sangat peduli bagaimana China memandang perang di Ukraina. FSB bahkan memerintahkan petugas kontra-intelijennya untuk menyusun laporan bagi Kremlin terkait kemungkinan perubahan sikap politik Beijing.
VIVA Militer: Pasukan Angkatan Bersenjata Federasi Rusia (VSRF)
Pemimpin negara-negara Barat telah lama menuduh China memasok komponen senjata penting untuk Rusia dan berusaha menyembunyikannya. Dokumen FSB menguatkan tuduhan ini, menyatakan bahwa Beijing menawarkan skema jalur pasokan yang dapat menghindari sanksi Barat, serta bersedia ikut memproduksi drone dan peralatan militer canggih lainnya.
Meski dokumen itu tidak menjelaskan apakah tawaran tersebut sudah terealisasi, China memang diketahui telah memasok drone ke Rusia.
Ada juga petunjuk bahwa China tertarik dengan kelompok tentara bayaran Wagner, yang selama bertahun-tahun mendukung rezim-rezim di Afrika dan kini bertempur bersama pasukan Rusia di Ukraina.
“China berencana memanfaatkan pengalaman tempur pasukan Wagner dalam pelatihan militer mereka sendiri serta untuk perusahaan-perusahaan militer swasta China yang beroperasi di Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin,” tulis dokumen tersebut.
Namun, tidak jelas apakah China berniat merekrut anggota Wagner secara langsung atau sekadar ingin meniru strategi dan keahlian mereka.
Kekhawatiran Lama: China Mengincar Wilayah Rusia
Peta Pipa Jalur Gas Rusia ke Eropa.
Photo :
- Instagram @arcandra.tahar
Rusia sudah lama merasa waspada dengan ambisi teritorial China di sepanjang perbatasan sepanjang 4.200 km. Sentimen nasionalis di China pun kerap mengungkit perjanjian-perjanjian abad ke-19 yang menyebabkan sebagian wilayah — termasuk Vladivostok — jatuh ke tangan Rusia.
Kini, saat Rusia sedang melemah karena perang dan sanksi ekonomi, kekhawatiran itu semakin nyata. Laporan FSB menyebut bahwa beberapa akademisi China mulai menghidupkan kembali narasi klaim wilayah terhadap Rusia.
Mereka sedang meneliti keberadaan “suku-suku kuno China” di wilayah Timur Jauh Rusia, kemungkinan untuk mempengaruhi opini publik lokal agar mendukung klaim China.
Tahun 2023, China menerbitkan peta resmi yang mencantumkan nama-nama kuno China untuk beberapa kota dan wilayah di Rusia.
FSB pun memerintahkan para petugasnya untuk mengungkap segala aktivitas “revanchist” tersebut, termasuk upaya China memanfaatkan ilmuwan dan arsip Rusia untuk membangun narasi sejarah yang berpihak pada klaim wilayah mereka.
“Lakukan pendekatan pencegahan terhadap warga negara Rusia yang terlibat dalam aktivitas seperti itu,” tegas memo tersebut. “Batasi masuknya warga negara asing ke wilayah kita sebagai bentuk pengaruh.”
Ketegangan Tersembunyi: Saat China Mulai Bikin Rusia Gelisah di Asia Tengah dan Kutub Utara
Hubungan antara Rusia dan China sering digambarkan sebagai kemitraan strategis tanpa batas. Namun, dokumen internal dari FSB (dinas keamanan utama Rusia) menunjukkan bahwa di balik retorika persahabatan tersebut, para pejabat intelijen Rusia semakin cemas akan ambisi China di berbagai wilayah sensitif—termasuk Asia Tengah dan kawasan Arktik.
Asia Tengah: Dari Wilayah Pengaruh Soviet ke Target Diplomasi Lembut China
Selama era Uni Soviet, negara-negara Asia Tengah seperti Uzbekistan, Kazakhstan, dan Kirgistan sepenuhnya berada di bawah kendali Moskow. Namun kini, seiring melemahnya kekuatan geopolitik Rusia akibat perang di Ukraina, China mengambil kesempatan untuk memperluas pengaruhnya di kawasan tersebut.
Menurut laporan FSB, Beijing telah meluncurkan «strategi baru» untuk memperkuat soft power-nya di Asia Tengah, dimulai dari Uzbekistan. Meski dokumen tersebut tidak merinci isi strategi tersebut, disebutkan bahwa pendekatannya berbasis “pertukaran kemanusiaan”, yang kemungkinan mencakup program pendidikan, kebudayaan, hingga kerja sama teknologi sipil.
Bagi Presiden Vladimir Putin, Asia Tengah bukan sekadar wilayah asing. Ia menganggap kawasan ini sebagai bagian dari warisan geopolitiknya—wilayah yang dulunya merupakan bagian dari lingkup pengaruh Soviet dan yang seharusnya tetap setia pada orbit Moskow. Maka dari itu, penetrasi diplomatik China di Asia Tengah membuat Kremlin semakin gelisah.
Kutub Utara: Ladang Es yang Mulai Mencair, Secara Harfiah dan Geopolitik
Selain Asia Tengah, kawasan lain yang menarik perhatian China dan menjadi sumber kekhawatiran Rusia adalah Arktik—wilayah yang luas dan kaya sumber daya di bagian utara Rusia.
Seiring perubahan iklim yang mencairkan es abadi, Jalur Laut Utara (Northern Sea Route) yang membentang di sepanjang pesisir utara Rusia diperkirakan akan semakin ramai dilalui kapal dagang. Rute ini secara signifikan dapat mempercepat pengiriman barang antara Asia dan Eropa, menjadikannya sangat strategis untuk kepentingan ekspor China.
Selama ini, Rusia berupaya menjaga kendali penuh atas aktivitas asing di kawasan Arktik. Namun, laporan FSB menunjukkan bahwa China melihat peluang besar dalam tekanan sanksi Barat terhadap Rusia. Beijing menilai bahwa Moskow kini tak punya banyak pilihan selain membuka diri pada kerja sama dengan China untuk mempertahankan infrastruktur Arktik yang sudah menua.
Buktinya sudah terlihat. Perusahaan gas raksasa Rusia, Novatek, kini menggandeng China dalam proyek gas alam cair (LNG) di Arktik, setelah sebelumnya mengandalkan jasa perusahaan Amerika, Baker Hughes.
Aktivitas Intelijen China di Arktik: Kampus dan Tambang Jadi Kedok
Lapisan es di Arktik mulai mencair.
Dokumen FSB juga mengungkap aktivitas intelijen China di kawasan Arktik. Beijing disebut menggunakan lembaga pendidikan tinggi dan perusahaan pertambangan sebagai kedok untuk mengumpulkan informasi penting tentang pengembangan wilayah kutub Rusia.
Intelijen China tertarik untuk mengetahui detail teknis infrastruktur, teknologi eksplorasi sumber daya, serta jalur transportasi masa depan di Arktik—semuanya berpotensi menjadi keuntungan besar bagi Beijing dalam persaingan global atas kawasan kutub yang semakin terbuka.
Dilema Rusia: Antara Waspada dan Tergantung
Meski semua sinyal menunjukkan peningkatan ancaman dari ekspansi China, dokumen FSB secara tegas memperingatkan bahwa merusak hubungan dengan Beijing justru bisa berakibat lebih fatal.
Petugas kontra-intelijen Rusia diperintahkan agar tidak mengambil langkah sensitif tanpa persetujuan dari tingkat tertinggi dalam struktur keamanan nasional. Artinya, meski kecurigaan terhadap China tumbuh, respons Rusia dibatasi demi mempertahankan hubungan strategis yang dianggap vital dalam menghadapi tekanan dari Barat.
Persahabatan yang Rapat, Tapi Penuh Kecurigaan
China dan Rusia memang tengah menjalin kerja sama yang erat, terutama di hadapan tekanan dari negara-negara Barat. Namun, di balik layar, ada dinamika rumit yang mengintai: rasa saling curiga, perebutan pengaruh di wilayah-wilayah penting, dan kecemasan bahwa kemitraan ini mungkin suatu hari berubah menjadi persaingan terbuka.
Asia Tengah dan Arktik menjadi dua panggung utama dari ketegangan yang masih tersembunyi. Dan meski hari ini mereka tampak sebagai sekutu, baik Rusia maupun China tampaknya sama-sama sadar bahwa dalam dunia intelijen dan geopolitik, tidak ada teman sejati yang abadi.
Halaman Selanjutnya
“Di tingkat politik, semua pemimpin ingin mempererat hubungan dengan China,” ujar Andrei Soldatov, pakar intelijen Rusia yang kini tinggal di pengasingan di Inggris dan turut meninjau dokumen ini atas permintaan The New York Times. “Tapi di tingkat intelijen dan keamanan, mereka sangat curiga.”